• Secawan kisah dibalik ruang isolasi nuklir (1)

    17.53

    6 Juli 2015
    Welcome to the war!!
    Awas bahaya! Radiasi!
    Yah begitulah tulisan mengerikan terpasang di depan kamar kami.


    Kamar yang cukup luas untuk kami berdua. Aku dan seorang ibu paruh baya yang sangat tangguh yang kini menjalani ablasi keduanya. Seorang ibu yang sangat baik dengan ikhlas selalu berbagi ini itu tips ini dan tips itu.

    Semua baju yang aku kenakan awal datang kesini tadi harap di masukkan ke dalam plastik kemudian dimasukkan ke lemari dan jangan dipegang hingga tingkat radiasi ku normal beberapa hari ke depan nanti. Aku diberi baju berbentuk seperti kimono berwarna ungu yang cukup hangat dan nyaman. Semua baju yang aku kenakan harus dibungkus plastic dengan rapi karena semuanya sudah terpapar radiasi. Yiah begitulah briefing singkat suster padaku.

    Sebelum diminumkan iodium radioaktif dengan takaran 100 millicuries, aku diminta minum obat anti mual dahulu untuk mengurangi efek pasca diminumkan nuklir nanti. Kemudian kemasan besi berwarna kuning bertuliskan namaku itu langsung diminta suster berompi anti radiasi, bermasker dan sarung tangan lengkap untuk aku minum. Bismillah ucapnya membimbingku.

    Cairan bening dan tak berasa itu sudah masuk ke tubuhku. Dia akan menempel pada sel-sel kanker dalam tubuhku. Rasanya memang agak berat di leher. Tapi motivasi dari ibu sekamarku, “Jangan berpikir kamu sedang dalam pengobatan. Biasa saja, kalau tiba-tiba mual anggap saja bukan apa-apa.” Begitu motivasinya padaku berulang kali. "Ya bu, terima kasih", jawabku yang juga berulang kali padanya.  
    Aku bertanya-tanya, kenapa ibu ini harus menjalani ablasi yang keduanya, malah di ruang tunggu tadi ada seorang ibu yang menjalani ablasinya untuk ketiga kali dan kelima kali.
    Ketakutan membayang cukup hebat dibenakku, haruskah aku melakukan hal yang sama kelak? Haruskah ujian ini aku lewati berkali-kali kelak? Menahan air mata pun tak kan berarti apa-apa jika tak bertanya pada sang Pemilik badan ini, pada Sang Pemilik hati ini. Semua takkan berarti jika tak berprasangka baik pada Allah, Semua tak kan berarti. Bukankah prasangka juga berarti harap yang tak dieja? Sedangkan tiap harap selalu didengarkan oleh Allah.

    Rupanya Allah lebih tau bagaimana melindungi dan menyayangi hamba-Nya, Allah tau bagaimana cara memberkahkan rezeki hamba-Nya, Allah tau bagaimana cara menggugurkan dosa-dosa hamba-Nya.
    Pappiliary Carcinoma Thyroid Dextra. Sederhananya Kanker tiroid. Tak pernah terbayangkan akan mengidap penyakit itu. Penyakit kanker. Tak pernah. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir riwayat kesehatanku baik-baik saja dan berprasangka baik atas semuanya. Namun rupanya ada pelajaran yang hendak Allah sampaikan. Yang bisa jadi hikmah dari peristiwa H-3 bulan dokter memvonis kanker ini yang ikut menjadi pemicu munculnya kanker ini. Emosi yang mendalam dan dipendam tak terungkapkan. Bisa jadi. Tapi aku sudah mengikhlaskan itu semua. Ikhlas seiring kanker yang jua sudah diikhlaskan. 
    Kanker itu bukan ujian ataupun musibah. Kanker adalah takdir. Suatu ketidakmungkinan dalam benak manusia yang dengan mudahnya Allah mungkinkan dengan "Kun Faa yakun"-Nya.

    Di Ruang isolasi nuklir RS. Hasan Sadikin (Hari Pertama)


    Baca juga: Secawan kisah dibalik isolasi nuklir (2)
                    secawan kisah dibalik ruang nuklir (3)


    Salam,

    Senja Januari
  • You might also like

    2 komentar:

    1. Assalammuallaikum,

      Pembelajaran yg baik, sekedar berbagi...cerita anda seperti yg dialami istri saya 7 tahun lalu, di tempat yg sama juga yaitu RS Hasan sadikn Bandung

      BalasHapus
      Balasan
      1. Waalaikumsalam, senang bisa berbagi. Hanya ingin memberi gambaran pada sesama pasien kalau isolasi tak semengerikan yang dibayangkan. Bagaimana keadaaan istri bapak sekarang? semoga senantiasa sehat :)

        Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Apa?