Banyak pelajaran hidup yang harus cepat aku pelajari di awal usia 22 tahunku. Disaat teman-teman seperjuangan masih asik bergelut di perkampusan atau ramai dengan seputar kisah yang mereka sebut dengan orang yang mereka cinta namun tak halal baginya atau mereka yang asik upload hasil wara-wiri dari satu cafe ke cafe lainnya. I really don't care exactly. itu pilihan masing-masing pribadi. Aku menghargainya. Di awal usia ini aku harus belajar berlapang dada atas segala jalan hidup yang Allah berikan, rasanya pertama kali itulah i feel so down. Apalah manusia yang tak tau apa-apa ini bersombong diri seolah tau apa yang terbaik untuknya. Padahal sebaik-baik skenario hanya Allah-lah yang tau. Sebaik-baik perancang hanya Allah. Tapi Allah menegakkan dagu yang menunduk itu melalui tiroidku.
Tepat tanggal 12 Januari 2015 setelah kejadian yang cukup menguras tenaga dan air mata, ibuku memintaku untuk periksa ke dokter. Padahal aku merasa tak ada nyeri atau keluhan apapun yang aku lontarkan pada kedua orang tuaku. "Aku tak demam, tak ada nyeri, tak pula merasa terganggu atas apa yang ada pada tubuhku. Aku sehat bu." begitu jelasku pada ibu. "Tapi tidak mungkin sesuatu yang dulunya tak ada menjadi ada merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja. coba cek di lehermu ada sesuatu yang membesar. kalau menelan pun dia naik turun, gak mungkin kan jakun?" tanya ibu meyakinkan. Akhirnya aku menyerah. oke, akan ku periksakan.
Di klinik umum, setelah antrian yang cukup panjang. Dokter wanita itu memeriksaku. Dia memintaku untuk meluruskan kedua tanganku lalu ia meletakkan selembar kertas di atas tanganku. "Tak bergetar." ucap dokter. "Telapak tangan kamu suka berkeringat tidak?" Tanya dokter. "Tidak, dok biasa saja." jawabku keheranan. kemudian dia menekan leherku dan mencoba meraba benjolan yang ada tepat berada di leher bagian bawah di atas dada. Dokter tampak kebingungan. Hmmm apa lagi aku. Tahukah? akhirnya aku hanya diberi vitamin saja tanpa diagnosa apapun. Dokter bilang aku baik-baik saja. Kemudian aku pulang tanpa diagnosa.
Sesampainya di rumah, ibuku kebingungan dan tak dapat menerima hasil periksa dokter umum itu. Lalu ia memintaku untuk periksa ke dokter yang berbeda. Aku meminta izin untuk diperiksa di hari kamis minggu depan saja. aku harus mengajukan cuti lagi. Aku masih harus menunaikan kewajibanku di tempat kerja.
Di hari kamis, aku periksa kembali ke dokter yang berbeda. Ditemani novel merah karya Tere Liye aku duduk diantara antrian yang panjang menunggu dokter favorit itu hadir. Entah apa yang terjadi padaku pagi itu, air mata tak kunjung dapat kubendung. Setelah kejadian sore kemarin yang cukup menohok dan menghujam dalam hatiku. Ada jawaban dari pertanyaanku pada Allah yang harus aku baca dan terima. Aku harus melapangkan dada dulu dan melembutkan hati agar cahaya petunjuk itu masuk. Seraya terus menutupi mata yang entah sudah se-membengkak apa hha, Finally giliranku periksa. Dr. Didin menyapaku ramah, kemudian dia sabar mendengarkan keluhanku dan melihat benjolan di leherku. Cemas menunggu diagnosa dokter. Tanpa berkata-kata beliau menatapku dan mulai menuliskan resep. Aku hanya dirujuk ke salah satu laboratorium klinik untuk cek darah T3, T4, TSH dan melakukan USG di leher. Setelah ada hasilnya, kembalilah periksa.
Tanggal 24 Januari 2015, di hari tepat aku berusia 22 tahun. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana hari lahir yang banyak orang-orang mengingatkan dengan doa-doa dan bahkan hadiah-hadiah manis. Hariku itu dipenuhi kecemasan. Aku kebingungan. Kemana perginya hati yang tenang seperti sebelum-sebelumnya? hasil periksaku keluar. Aku harus kembali cek ke Dr. Didin. Dari hasil lab darah, semuanya normal. Namun dari hasil USG leher, ada benjolan yang cukup besar sekitar 2 cm lebarnya. Kemudian Dr. Didin merujukku ke Dr, Dian seorang dokter spesialis dalam di RS. Santo Yusup Bandung.
Awal Februari, aku akui memang hari-hari yang cukup berat. Rasanya kepala sesak memikirkan pikiran ini itu. Ya sahabat ya keluarga ya papah ya ibu ya orang lain ya dia. Semuanya menyesakkan rasanya. Tapi Allah selalu tau melapangkan hati hamba-Nya yang tak lelah berharap. Aku harus selalu dapat menyenangkan orang-orang sekitarku. Aku harus sehat, Begitu sugesti baik yang selalu aku tanamkan. Sore itu aku menunggu di klinik spesialis dalam ditemani ibu. Again and again, dokter kemudian merujukku pada Dr. Kiki Ahmad Rizki dokter spesialis bedah onkologi di rumah sakit yang sama. Dia dokter sibuk, kalau pasien telat ya sudah mengantrilah di hari berikutnya. Namun sayangnya dia hanya ada di RS. Santo Yusup pada hari selasa, kamis dan sabtu saja. Nice.
Sepulang kerja aku memberanikan diri untuk periksa seorang diri ke Dokter bedah onkologi. Finally, dia memarahiku. "Kamu kan masih Nona datang periksa ya sama orang tua, kalau sudah Nyonya baru boleh ga bawa orang tua tapi sama suamimu." Jelas dokter dengan senyum menyindir. Hmmm Begitu penjelasan dokter yang hanya ku balas dengan senyum. "Oke jadi gimana dok?" tanyaku. "Kamu harus segera dioperasi, tumornya sih jinak, tumbuhnya lama, kamu juga gak nyeri apapun dan demam kan? Saya ambil tiroid sebelah kanan kamu itu. diameternya sudah 2 cm lebih. Hasil darahnya baik, kamu gak hipertiroid gak juga hipotiroid, itu cuma nodul tiroid" jawab dokter yang kemudian membuat sekujur badanku lemas. "Kembalilah segera kesini bersama orang tuamu, akan saya jelaska dan supaya kamu bisa segera naik ke meja operasi." jelasnya.
Sore itu aku pulang dari rumah sakit sendiri sambil terus mengusap air mata yang menetes tak karuan dari sudut gelap mataku.
Mungkin, Allah hendak memberi tahu jawaban lagi atas tanyaku yang belum terjawab. Tapi apa?
-RRD-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar